Ramadhannya Perempuan :D


Kemarin-kemarin denger ceramah dari masjid di sebrang bale. Bukan ceramah juga sih , lagi sesi tanya jawab tepatnya.

Kalo ga salah, berarti bener, pertanyaannya itu menyangkut tentang ibadah pengganti untuk perempuan yang sedang haid. iyaa, kan kalo lagi haid, ga boleh shalat, ga boleh shaum juga. Padahal sekarang itu kan lagi bulan Ramadhan, udah masuk 10 hari terakhir pula. Keutamaannya kan banyak banget. Jadi keingetan, ga bisa i’tikaf! Pokonya, kalo nurutin hati sendiri, sediiiih banget ga bisa meramaikan 10 hari terakhir Ramadhan dengan “selayaknya”. Pengennya kan tetep bisa shaum, shalat, trus i’tikaf juga. Dll lah. TT

Bukan, saya bukan mau ngebahas jawaban sang pembicara. Hanya saja, ada satu statement yang bikin hati ini plong.

Intinya (dengan redaksi ciptaan sendiri)

Saat perempuan yang sedang haid tidak melakukan itu (ibadah tertentu), itu semua dalam rangka taat kepada Allah.

Hmmm. Iya banget ya. Yah, tinggal hatinya saja yang bekerja. Ikhlas dengan ketetapan Allah. Ikhlas.

Bismillah, pus, dalam rangka taat koo. 🙂

Belajar Asyik (kata hati beneran)


Anda yang memilih, anda yang menentukan.

Saya yang memilih, saya yang menentukan.

Maksudnya, bukan menentukan hasil sesuatu atau masa depan atau apalah itu yang menunjukkan kearoganan diri sebagai makhluk. Secara hakikat, ya pasti banget hanya Allah Swt. lah yang Maha Memutuskan. Dia lah yang berkehendak. Akan tetapi, secara syariat, ya kita-kita ini yang menjadi jalannya.

Intinya (ujug-ujug inti ini teh), saya yang udah memilih untuk masuk FK Unpad, secara sadar, tanpa paksaan siapa pun, malah kayanya saya yang maksa, dan alhamdulillah Allah Swt. mengizinkan.

Sekarang, saya yang menentukan, mau 3.5 tahun seperti apa yang akan saya jalani disini? Ngeluh-ngeluh karena harus banyak baca buku yang tebelnya sampe ribuan halaman (ga bohong, tentang “muntah” ada di buku fisiologi guyton halaman 1057 <– salah satu efek academic training yang masih diinget), sehari baca 5 jam termasuk sabtu ahad, ngerjain LI (Learning Issue) yang banyak banget (soalnya kata tutor saya, yang ideal itu semua orang ngerjain LI, ga boleh dibagi-bagi) atau….

Menjadikan semuanya sebagai sarana pengembangan diri (ruh, akal, jasad).

Saya pikir, saya memilih yang kedua 🙂 Lurusin niat, neng. Kamu mau jadi dokter kaya apa?

Belajar itu asyik!

PS. tolong jangan artikan belajar secara sempit. belajar itu bukan cuma baca buku atau apalah yang kata orang-orang selama ini. belajar itu luas sekali artinya, kawan. selamat “belajar”!

Refleksi #2: Fakultas Kedokteran Unpad, Dokter, dan Saya


“Pus, akhirnya keterima di kedokteran Unpad.”

Saya pun mengoreksi, “Bukan ‘akhirnya’, tapi ‘awalnya’.”

— Salah satu obrolan via facebook yang pernah saya lakoni dengan seorang teman beberapa hari setelah pengumuman SNMPTN.

Bagi saya, menjadi bagian dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran merupakan berkah dari Allah Swt. yang tak terkira. Saya sendiri tidak tahu, perasaan apa yang saya rasakan saat melihat pengumuman SNMPTN. Semuanya campur aduk, mulai dari tidak percaya, seperti mimpi, bersyukur, bahagia, senang, tegang, hingga waswas pun ada. Sampai-sampai saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah saya perbuat sampai-sampai Allah Swt. “berbaik” hati untuk memberikan kado yang sangat spesial seperti ini. Apapun itu, saya berharap untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini sedikit pun. Tidak semua orang ditakdirkan untuk melanjutkan masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, bukan?

Salah satu hal yang saya kerjakan saat pertama kali mengetahui kejelasan status pendidikan saya tahun ini adalah mencari tahu tentang bale dan me-recall semua ingatan mengenai FK Unpad yang pernah saya dengar. Yang katanya, FK itu sangatlah berbeda dengan fakultas lainnya. Mulai dari ospek sampai cara belajar. Saat itu saya hanya “mengiyakan” saja perkataan orang –orang tentang FK Unpad. Benar atau tidaknya berita yang saya dengar, saat itu saya juga belum tahu. Ternyata, setelah saya diberi kesempatan untuk sedikit mencicipi aroma FK sampai OPPEK hari pertama, subhanallah, sampai kehilangan kata-kata sendiri. Cerita yang saya dengat tentang FK Unpad, belum ada apa-apanya. Lebih dahsyat ketika sudah merasakan sendiri. Saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah dan masih saja merasa kurang karena seperti mendapatkan kebaikan bertubi-tubi. Bukan hanya kesempatan untuk menempuh pendidikan kedokteran, tetapi lebih dari itu, saya mendapatkan sebuah keluarga yang belum tentu di fakultas lain bisa sesolid ini. Subhanallah. Alhamdulillah, ya Allah.

Saya pikir, adalah suatu kewajaran, ketika seseorang itu bahagia, bersyukur, senang, dan perasaan sejeneis lainnya, saat mendapatkan sesuatu yang diiginkannya, diimpi-impikannya, bahkan dicita-citakannya. Itulah sepertinya yang terjadi pada saya. Jika saya tidak ingin menjadi seorang dokter, pasti saya akan merasa biasa-biasa saja dan Alhamdulillah nyatanya tidak seperti itu. Sejauh yang saya ingat, sejak pertama kali mendeklarsikan cita-cita (sekitar waktu saya masih TK), saya sudah menjawab ingin menjadi dokter. Tidak pernah berubah. Sekarang, setelah saya dewasa, saya harus tahu alasan kenapa saya memilih sesuatu. Ketika saya secara sadar memilih untuk menjadi dokter, saya meyakini, bahwa insyaallah bukan karena (seperti paradigm umum) ingin terlihat keren, ingin cepat kaya, atau apapun itu. Akan tetapi, secara sederhana, saya ingin menjadi manusia yang bisa memberikan manfaat kepada lingkunagan sekitar dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat sehingga Allah Swt. ridho kepada saya nantinya. Jalan pengabdianlah yang telah saya pilih. Harapannya, semoga sampai akhir saya bisa menjaga keikhlasan niat. Amin.

“…Siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia…” (QS. Al Maidah:32)

Karena menjadi dokter berarti membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusian

Karena menjadi dokter berarti siap untuk menjunjung tinggi kejujuran, etika, kesusilaan, dan nilai-nilai luhur lainnya.

Karena menjadi dokter berarti bertanggung jawab atas ilmu yang dimiliki.

Karena menjadi dokter berarti menghormati, mengutamakan orang lain, dan adil.

Karena menjadi dokter berarti menepati janji.

Itu semua tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya niat yang lurus. Ketika kita bekerja untuk Tuhan, maka penilaian manusia atas diri hanyalah dampak, bukan tujuannya. Niat yang lurus insyaallah akan menjadi pengingat diri untuk selalu di atas jalan yang benar, menguatkan langkah saat kaki ini rasanya tidak punya energi lagi, juga menjadi penyemangat diri.

Menjadi dokter pun berarti memilih untuk menjadi seorang long-life-learner, seseorang yang tidak pernah berhenti belajar karena dasar dari profesi dokter terletak kepada pemahaman akan ilmu yang dimiliki. Ilmu yang tertanam secara kokoh di dalam diri akan memunculkan karakter seorang manusia yang kuat. Karakter inilah yang akan mencerminkan dokter jenis apakah diri ini nantinya.

Dokter bukanlah seseorang yang sempurna, yang pasti akan selalu berbuat benar. Ia pun seorang manusia biasa yang mungkin untuk berbuat salah. Maka kehadiran teman sejawat bukanlah lagi suatu saran, tetapi juga menjadi keharusan. Bukan teman biasa, yang kerjanya hanya menyampaikna apa yang ingin kita dengar. Akan tetapi teman yang meluruskan di saat diri ini berbelok arah, mengobarkan semnagat di saat diri ini meredup, dan menjadi orang pertama yang mengatakan sesuatu yang memang harus kita dengar.

Profesi dokter itu mulia. Akan tetapi menjadi seorang dokter yang mulia itu adalah suatu pilihan. Ketika diri ini dengan sadar memilih jalan yang benar, maka di situlah letak kemuliannya. Denagn keilmuannya, ia memilih utnuk mengabdi, bukan mengambil keuntungan diri.

Refleksi #1: Aku dan Posisiku sebagai Mahasiswa dan Mahasiswa Kedokteran


Hanya beberapa patah kata dan ternyata beberapa patah kata inilah yang telah mengantarkan saya kepada fase yang berbeda dalam kehidupan saya. Beberapa patah kata itu adalah nama, nomor peserta snmptn, kode jurusan, dan sepenggal ucapan selamat dari panitia penyelenggara SNMPTN. Tentu, bukan karena saya yang belajar keras, bukan pula karena doa-doa saya, tetapi saya yakin, ini semua karena Allah yang selalu mencurahkan kasih sayang kepada hamba-Nya.  Inilah skenario kehidupan saya yang telah Dia buat dengan segala kesempurnaan-Nya.

Fase berbeda, sekaligus fase baru ini, membuat saya menyadari satu hal. Bahwa saya sekarang sudah menjadi seorang mahasiswa. Saya sangat bersyukur akan hal ini. Akan tetapi ternyata, syukur ini meminta pelunasan hutang-hutangnya. Bahwa syukur, tak bisa sekedar mengucap “Alhamdulillah” atau mengadakan syukuran yang mengundang keluarga besar. Syukur ini meminta dibebaskan sebebas-bebasnya, sejauh-jauhnya, sejauh tangan ini bisa berbuat. Karena syukur berarti berbuat lebih banyak, mengeluarkan segala potensi yang dimiliki untuk melakukan lebih banyak hal yang bermanfaat.

Syukur ini berarti menjadi orang yang bertanggung jawab karena mmenjadi mahasiswa berarti mengulurkan tangan secara sukarela untuk menjalankan amanah. Tidak semua orang bisa berada di posisi saya sekarang. Padahal bisa jadi, banyak orang di luar sana yang lebih pintar, lebih kaya secara harta, lebih bijak, lebih dahsyat ikhtiarnya, dan lebih-lebih lainnya pada dari saya. Akan tetapi, ternyata saya adalah salah satu dari orang-orang terpilih itu. Maka sekali lagi, status ini adalah amanah yang pertanggungjawabannya bukanlah main-main. Pertama, bertanggung jawab kepada diri sendiri yang insyaallah unjung-ujungnya adalah mengharapkan ridho Ilahi. Kedua, bertanggung jawab kepada orang tua yang dengan keberadaan merekalah, saya bisa berada di sini. Ketiga, bertanggung jawab kepada masyarakat yang jika bukan karena mereka, besar kemungkinan menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri seperti di Universitas Padjadjaran ini akan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Belum lagi dengan kenyataan bahwa menjadi mahasiswa bukanlah hanya cita-cita saya seorang. Maka jangan sampai saya menjadi oarng yang menyia-nyiakan amanah ini.

Saat ini, menjadi dewasa pun bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan. Saya yakin dengan menjadi dewasa maka saya akan bisa lebih banyak menyerap berbagai ilmu yang akan saya terima nanti, dari sisi akademis (kedokteran) sampai pelajaran tentang kehidupan. Menjadi dewasa pun berarti menyadari keharusan menjalani amanah-amanah tadi dengan penuh tanggung jawab. Maka semoga nantinya saya bisa menjadi mahasiswa yang tidak hanya sekedar belajar di pergurruan tinggi seperti yang KBBI jelaskan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi.), tetapi juga bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarny bagi orang-orang di sekitar sejak saya masih di bangku kuliah.

Dalam pandangan saya yang awam ini, menjadi dokter artinya mengabdi. Ya. Mengabdi. Kepada nurani terabaikan, kepada nilai-nilai yang terlukai, kepada hak-hak yang tidak tertunaikan. Dokter itu adalah profesi yang mulia, maka perlu hati yang ikhlas untuk memulainya, minimal sejak di bangku kuliah. Ketika kita ikhlas, kita akan mencintai pekerjaan yang kita lakukan. Kecintaan inilah yang nantinya akan memacu kita untuk bekerja dengan lebih baik. Kecintaan ini tidak bisa datang dengan serta merta. Ia butuh untuk diperjuangkan, dibiasakan, dan dilatih. Maka disinilah saya, salah seorang dari mahasiswa kedokteran universitas padjadjaran yang akan berusaha dengan sebaik mungkin. Bukankah nantinya dokter itu adalah pemimpin dan abdi masyarakat? Apa jadinya jika itu dilakukan tanpa keikhlasan? Tanpa cinta? Maka menjadi mahasiswa kedokteran merupakan bagian dari pembelajaran secara teori dan simulasi untuk menjadi dokter sesungguhnya yang insyaallah akan bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar, bukan hanya nanti saat gelar dokter sudah disandang, tetapi mulai saat ini.

QS Hud 12


Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?” Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu.

benar benar ku rindu dan ku cinta engkau karena Allah, amiin, insyaallah. #inibukangombal