Pakar Sejarah: Kesan Kartini Seorang Feminis Adalah Taktik Belanda


di copy pasted dari eramuslim.com

Kamis, 21/04/2011 11:04 WIB

Tanggal 21 April selalu menjadi momentum para feminis untuk mengangkat nama Kartini. Di sebagian daerah, para pelajar dan mahasiswa pun menyemarakkan ekspresi Hari Kartini dengan caranya masing-masing seperti terlihat dalam pantauan Eramuslim.com di salah satu kampus di bilangan Tangerang yang mengangkat Kartini dalam perspektif Gender.

Namun terlepas dari hal itu, nama Kartini memang cukup menyita perhatian. Di satu sisi, Kartini memang sangat theosofis, namun pada sisi lain Kartini pun dekat dengan Islam, karena di akhir hidupnya, ia sempat berguru ke Kiai Soleh Darat di Semarang. Lalu bagaimana kita harus meletakkan proporsi Kartini? Tiar Anwar Bachtiar, Kandidat Doktor Sejarah UI, memiliki perspektif yang coba menelisik itu.

“Jadi Kartini harus diletakkan sebagai orang awam. Sebagai orang awam, dia akan ketemu apa saja, siapa saja dan dimana saja. Jadi itu posisi Kartini. Jadi jika sempat suatu data menyatakan Kartini ketemu orang-orang teosofi memang sangat wajar. Karena bupati saat itu memang dekat dengan tokoh-tokoh theosofi Belanda. Apalagi dia kan pelajar di Sekolah Belanda dan gurunya juga pasti kan ada yang terlibat Theosofi. Jadi jika ia terpengaruh theosofi itu mungkin. Tapi tidak hanya terpengaruh theosofi, dia juga terpengaruh liberalism dan feminis ekstrimis-nya Stella Zeehandelaar.” Ujarnya kepada Eramuslim.com, Rabu 20/04.2011, saat ditemui di kampus UI, Depok.

Kartini sendiri berkorespondensi dengan Stella, seorang feminis ekstrimis, sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Namun kapasitas itu menurut, Tiar Anwar Bachtiar, karena Kartini masih dalam masa pencarian.

Menyambung daripada itu, peneliti INSISTS ini juga menyatakan bahwa Kartini sempat berinteraksi dengan Islam adalah fakta sejarah. Dalam masa akhir-akhir hidupnya, Kartini berguru ke Semarang. Hal itu besar didasarkan karena Kartini terkenal sebagai gadis yang gemar mengaji.

“Tapi memang dalam akhir hidupnya itu dia sempat mengaji ke Kiai Soleh Darat di Semarang karena memang dia senang mengaji. Karena ayahnya Bupati Rembang termasuk santri yang agak senang mengaji. Sebagai istri keempat kan Kartini pasti tidak banyak acara. Jadi Kartini itu sebagai pencari statusnya. Maklum sebagai anak muda dia mencari pengetahuan berbagai macam dan jatidiri, termasuk di masa akhir hidupnya Kartini bertemu Islam. Makanya Pak Mansyur (Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, red) mengatakan, Kartini terpengaruh Qur’an.” Sambung Tiar Anwar menambahkan.

Dalam keterangan lebih lanjut, Tiar Anwar Bachtiar juga melihat bahwa feminisme dalam pemikiran Kartini adalah taktik Belanda untuk membumikan ajaran feminisme dan liberalisme di Indonesia.

“Anehnya kan yang dimunculkan sekarang bukan Kartini pada masa akhir hidupnya. Kartini dikesankan feminis. Makanya mungkin Kartini juga gak engeh dia ditokohkan. Ini kan terjadi setelah Abendanon (Mr. J.H Abendanon, red.) menerbitkan surat-surat Kartini dengan Stella setelah Kartini meninggal. Jadi Kartini itu dikonstruk oleh Abendanon dan semuanya itu menjadi konsumsi publik dan cenderung liar.” Lanjutnya meyakinkan

Perihal alasan yang membuat Abendanon “membonceng” nama Kartini, Tiar Anwar Bachtiar menyatakan bahwa misi Abendanon tidak lain untuk mempopulerkan gagasan feminisme di Barat ke Indonesia.

“Padahal di Indonesia tidak ada masalah feminisme dari dulu. Perempuan dan laki-laki punya hak sama. Makanya dulu di Jawa kalau lelakinya mencangkul di sawah, perempuannya yang menanam benih. Makanya dari dulu tidak ada patriarki. Patriarki itu masalah Barat, bukan masalah kita, karena masyarakat Barat memang sangat patriarkis. Makanya ketika feminisme itu datang ke Indonesia, susah mendapat konteksnya. Jadi Kartini itu konstruk yang dibuat masyarakat Barat untuk memperkenalkan feminisme di Indonesia. Padahal kita kan tidak butuh itu.” tutupnya

J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900 dan ditugaskan untuk membumikan ajaran-ajaran Barat di Nusantara, termasuk feminisme. (Pz)

Judging dan Nasehat


apa·tis a acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh

-KBBI

—————————————————————————————————-

Saya lihat sebuah qoutes di tumblr temen saya.

“Judging a person does not define who they are. It defines who you are.”

—————————————————————————————————-

Di sisi lain:

Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Madaarijus Salikin, mengatakan

“Pastilah hatinya keras dan merasa suci. Dan itu membuat mereka mudah sakit hati, sulit menghargai, dan tak mampu memaafkan.”

mereka adalah orang-orang yang tak mau menerima nasehat, bahkan cenderung mengajak debat ketika nasehat itu diberikan.

—————————————————————————————————-

Saya ga tau saya lagi di posisi mana. Kalo ada yang memberi nasehat, sepahit apapun, semenyakitkan apa pun kata-katanya, kita harus menerima kan ya? Berarti dia udah berbaik hati sama kita, mau ngingetin, mau cape-cape nyampein hal yang toh pada akhirnya, kebaikannya bukan untuk dia sendiri. Iya kan?

Maka mengapa harus ada kata “tapi” jika saya setuju sama itu? Harus sinkronisasi otak dan hati, nih, sepertinya.

Yah, kalo keadaanya kaya gini, lebih baik saya diem dulu sampai kepala dan hati saya dingin. Jangan sampe malah menyampaikan pembenaran-pembenaran apalah itu yang ga penting. Terima, akui, perbaiki. So simple. 🙂 Meski kenyataanya kita ga kaya gitu, yah, bisa jagi prevensi supaya kelak ga kaya gitu.

Nah, satu pelajaran lagi yang saya dapet. Generalisasi untuk hal yang baik menurut saya ga apa-apa. BIsa jadi doa. Tapii generalisasi untuk sesuatu hal yang buruk, waduh, jangan deh. Saya akan belajar untuk ga kaya gini. Kalo salah, jatohnya fitnah. Kalo bener, jatohnya ghibah. Dua-duanya sama-sama ga enak. Bikin rugi diri sendiri. Wallahualam bi shawwab,

Belajar :)


Lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan motivasi yang salah, tetapi sang ilmu tak pernah mau dituntut kecuali karena Allah.
– Al Ghazali

#di posting pertama kali di notes FB

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?


Jumat 300109 yang lalu saya to nf yg program simak ui. Saya teh ga bisa. Ga bisaaa banget. Ga bisa. Ga bisa!
Trus saya pulang aja ke rumah dan alhamdulillah nyampe ke rumah dg selamat dan dengan memakai jas hujan soalnya waktu itu t lumayan hujan.
Pas masuk ke rumah, papah ngomong, “teh, papah beli …e.”
“hah? Beli apa, pah?” suara papah ga jelas soalnya saya masih pake helm.
“…e.” masih ga jelas.
“apa?” akhirnya saya buka helm.
“hape.”
“untuk siapa?”
“untuk teteh.”
“hah? Ah, papah mah paling juga bohong.” saya ga percaya, soalnya papah saya t orangnya emang suka heureuy dan lumayan sering gonta-ganti hp. Jadi saya menyimpulkan kl hape itu untuk papah sendiri.
“bener.” tapi ngomongnya ga meyakinkan orang. Ga meyakinkan saya mungkin ya. Saya sampe nanya berulang2. Sampe papah males ngejawab. Terus mamah ngomong, “bener untuk teteh. Bilang makasih ke papah.”
Aku flashback. Tadi sore sebelum berangkat to nf program simak ui, saya dan irma makan+ngobrol2 di bazaar. Tiba2 hape saya jatoh sampe keypadnya keluar2 gtu. Pasti ga kebayang ya? Parah pokonya. Tp saya udah biasa. Jadi lempeng2 aja. Irma ngomong, “minta beli hp baru atuh.”
“ga ah. Ga usah.” soalnya emang masih berfungsi hpnya.
Kembali ke masa kini.
“makasih ya, pah.” kata saya. Tulus. Terharu. Malu.
Terus adzan maghrib. Saya salat maghrib aja.
Saya nangis sejadi2nya. Saya baru pulang dari to yg saya ga bisa dan nyampe rumah malah dikasih hadiah. Untuk apa? Apa sih yg udah saya lakukan shg saya pantes dapet nikmat ini? Saya malu. Saya ga minta, trus tiba2 Allah ngasih saya nikmat yg besar lewat papah. Terus saya inget sama nikmat lainnya yg udh dikasih Allah. Kayanya, syukur saya selama ini aja belum cukup, belum setimpal sama apa yg udah Allah kasih. Terus tiba2 dateng lagi nikmat. Berapa banyak hutang syukur saya ke Allah? Berapa? Bahkan nikmat sehat, bisa makan tiap hari, bisa berkedip aja belum…
Wahai Allah…
Padahal sungguh, saya merasa cukup dengan ini semua.
Tapi Engkau memberi lebih. Padahal berapa uang yang saya infaqkan setiap hari?
Tapi Engkau memberi lebih.
Padahal, mungkin dosa saya menggunung.
Tapi Engkau memberi saya nikmat sebesar ini.
Subhanallah. Saya malu. Malu. Sedih.
Alhamdulillah ya Allah. Bantu saya. Bimbing saya. Temani saya untuk membuat syukur ini menjadi amal nyata. Untuk dunia dan untuk menegakkan kalimat-Mu di muka bumi ini. Amin.
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Q.S. Ar-Rahman:13,16,18,21,23,25,28,30,32,34,36,38,40,42,45,47,49,51,53,55,57,59,61,63,65,67,69,71,73,75,77

#di posting pertama kali di notes FB

Saya dan Hari Ini


Saya belum ngerjain LI, seharian ini belum makan selain 4 gelas air, sebuah beng-beng, sebuah gery chocolatos, sebutir apel, sebatang wafer, dan sebungkus lidi-lidian (saya orang Indonesia tulen dimana selain nasi itu ibaratnya becandaan doang #ea lebay), baru pulang pembukaan chivalry yang bikin badan kaya mau patah (kaya yang tahu aja gimana rasanya patah, dan emang akibat ga pernah olah raga -___-” ampun, mah!), dan emang lagi nunggu penghuni kamar 15 muncul, mau minta nasi. hehe

Tapii, can’t help banget pengen nulis 🙂 Hari ini subhanallah saya sukaaa banget.

Sesuatu yang diawali dengan hal baik, insyaallah berdampak baik kesananya. Saya percaya. Tapi bukan berarti kalo awalnya jelek, kesananya jelek. Yang ini, saya lebih suka bilang, effort untuk memperbaikinyalah yang dibutuhkan, lebih besar tentu ya. Karena kitalah yang memegang kendali atas hidup dan perasaan yang kita miliki. Insyaallah.

Diawali dengan Alhamdulillah :)) dilanjutkan rapat jam 6am. Harusnya saya dateng jam6, tapi malah muncul jam7.30 dan rapat mulai jam 7.45an. Selesai jam8, langsung meluncur ke A11 untuk ngambil visus dan mulai mendistribusikannya ke 4 angkatan (ke ruang tutor) sama temen2 lainnya. Hyaa, beban sebulan bagai hanya ilusi semata #apaa.

Next: turorial 🙂 Kasus Baru! Dan saya sama temen-temen A4 seneng banget karena yang muncul adalah dokter Yenti. Tutor favorit kami. 🙂 (kan desas-desusnya setelah UTS ganti tutor #gamauu)

Kenapa favorit? Banyak faktor. Bagi saya, dokter Yenti itu bukan sekedar tutor akademik, tapi juga tutor kehidupan. Subhanallah kalo denger cerita beliau itu bikin merinding dan bikin maluuu banget. Duh, saya yang sehat gini kok banyak ngeluh ya? Banyak nyerahnya. Banyak mundurnya. Padahal kalo soal umur, yang sakit belum tentu mendahului yang sehat. Semuanya ga tau, kan?
Saya suka banget kalo beliau udah ngasih nasehat-nasehat. Mungkin ada yang agak pedes, tapi saya tau beliau itu tulus.
Beliau sering mengungkapkan, bahwa sungguh, setiap hari yang beliau jalani itu berkah dari Allah. Tiap pagi bangun dan menyadari, “Hei, saya masih dikasih kesempatan hidup, nih, sama Allah. Mau ngapain ya?”
Begitu juga dengan hidup kalian! Malu ga sih, kalo banyak ngeluh dan beramal ga optimal?
Banyak banyak banyak banget yang beliau sampaikan ini. Sungguh ini lebih berharga dari ilmu apapun karena ga ada di textbook. Iya toh? Dokter Yenti sukses bikin A4 terharu. Ga sedikit yang sampe nangis (kasih tau ga yaaa? hehe)

Terus, kata-kata beliau yang saya suka, ” Sejak sakit, kadang saya jadi suka lebay dalam menanggapi kehidupan. Misalnya ketemu Soleh. Eh, masih bisa ketemu Soleh ya. Masih bisa ketemu Dhita ya. Makanya saya pengen ngasih sesuatu untuk kalian kalo misalnya ketemu. Mumpung masih ada umur. Semoga apa yang saya sampaikan ada yang nempel di otak dan bermanfaat.”

Bagi saya itu bukan lebay. Memang sudah seharusnya kita menjadi manusia yang bermanfaat kan? TT Sayang banget sama dokter Yenti. Sebegitu percayanya beliau sama anak-anak bawang macem A4 ini. Bikin sedih lah tadi pas tutor.

Inilah pendidikan. Pendidikan Dokter kan judulnya? Ga melulu mengenai akademik. Ga melulu mengenai nilai ujian.

Oia jadi inget, dokter Yenti juga pernah bilang, “Kalian kalo belajar hayati, nih yang bikin kasus udah cantik banget data-datanya. Berurutan. Harusnya kalian itu mikir. Emangnya kalian mau jadi dokter lulusan MDE, dokter lulusan SOCA?” Iya banget… Astaghfirullah.

Makasih banget, dok 🙂 udah mau banyak banyak sharing sama kami, A4. Love you :*

Setelah tutor, langsung meluncur ke A6 untuk sholat. Ketemu dr Yuni (akhirnya saya tahu dr Yuni yang mana hehe) untuk ACC LPJ Breking the Silence. Lalu Lab Act tentang Pregnancy Test. Kocaaak seru! Dilanjut pembukaan chivalry. hmm saya merasa penuh dan bahagia banget. Alhamdulillah ya Rabb. Saya pengen deh kepekaan hari ini terus berlanjut. Karena saya percaya, bahwa setiap hari itu pasti ada hikmahnya. Pasti. Tinggal diri nih, mau atau kagak?

Alhamdulillah 🙂

Untuk perfecten, selamat tanding 🙂 apapun hasilnya semoga barokah. Saya bakal selamanya sayang kalian semua kok, perfecten, karena Allah.

Sekarang saya mau isya lalu ke kamar elsa lalu makan lau ngerjain LI. Yippie! Mudahkan ya Allah 🙂

Satu lagi pesan dr Yenti (sebenernya masih banyak), “Dulu saya bertanya-tanya, kenapa harus saya yang dikasih sakit ini. Untuk apa saya hidup? Sekarang mah saya tahu jawabannya, Lan (temen setutor saya namanya Elan) saya hidup, untuk yang Maha Hidup.”

Iya dok, hidup untuk yang Maha Hidup :’)