Ji Ah, Min Guk, dan Junsu ditugaskan untuk mengambil telur, langsung dari tempat ayamnya itu bertelur. Tanpa terasa, telur yang dikumpulkan sudah cukup banyak. Mereka memutuskan untuk pulang. Saat akan keluar dari kandang, Ji Ah yang dikagetkan oleh kehadiran ayam, tanpa sengaja melepaskan salah satu pegangan keranjang telur sehingga telur-telur jatuh berserakan ke tanah. Melihat hal tersebut, Min Guk yang baru mencapai pagar memungut kembali telur yang masih bisa diselamatkan. Ji Ah merasa bersalah. Syukurlah Min Guk tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Kali ini, mereka benar-benar akan pulang.
Ji Ah dan Junsu masing masing memegang satu keranjang penuh telur. Saat akan menyebrangi jalan, peta yang dipegang Junsu di tangannya yang lain hampir jatuh sehingga ia berusaha untuk memperbaiki posisi kertas tersebut. Tanpa diduga, keranjang yang ia pegang justru jatuh di tengah usahanya itu. Telur-telur pecah berantakan di pinggir jalan. Melihat hal tersebut, Min Guk sedih. Apalagi sebagai yang tertua, ia merasa sangat bertanggung jawab. Tanpa dicegah, air mata mulai bermunculan di sudut matanya. Junsu pun hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ia pun sedih. Karena tidak ada ayahnya, maka ia pun memeluk kaki paman kameramen.
Ji Ah dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Junsu. Ia memungut beberapa telur yang masih bisa diselamatkan. Memang tidak banyak. Tapi apa boleh buat. Setelah memungut telur-telur itu, Ji Ah meminta izin kepada nenek pemilik rumah untuk mencuci telur-telur yang tadi berjatuhan. Di tengah-tengah cuaca yang dingin, Ji Ah bekerja keras untuk mecuci setiap telur hingga selesai.
Di lain tempat, Min Guk yang merasa bersalah akan telur-telur yang pecah, mulai menghentikan tangisnya. Karena ayah mereka semua sudah mempercayakan tugas ini, ia tidak bisa pulang dengan tangan hampa. Ia pun memutuskan untuk masuk kembali ke kandang ayam untuk mengambil telur. Setelah merasa cukup, ia pun memanggil Junsu dan Ji Ah untuk bersegera pulang.
Di tengah perjalanan pulang, Min Guk kesulitan karena harus membawa sekeranjang telur dan satu kantung beras. Ia pun meminta bantuan Junsu dan Junsu dengan senang hati membantu Min Guk membawa beras.
Ternyata, kantung beras itu memang berat. Semula ia menjinjingnya. Akan tetapi, karena keberatan, ia memindahkan posisi kantung beras itu sehingga ada di atas kedua tangannya, seperti posisi menggendong bayi. Karena kantung itu tidak diikat, maka tumpahlah sebagian beras ke jalan raya. Sedikit panik, Junsu memanggil Min Guk untuk meminta bantuan.
***
Sesampainya di rumah, Ji Ah, Min Guk, dan Junsu memamerkan telur-telur yang mereka ambil langsung dari kandang ayam. Ketika ayah mereka sibuk memasak di dapur, mereka masing-masing mengambil sebuah telur. Untuk dierami, katanya. Telur itu mereka hangatkan di dalam kasu kaki, jaket, dan lain-lain. Mereka bersikap selayaknya ayam betina yang sedang mengerami telur. Setiap anak pun menamai telur yang mereka miliki tersebut. Bahkan, setelah itu mereka bertengkar mengenai telur siapa yang akan menetas terlebih dahulu sehingga suasana sangat gaduh. Suasana mereda setelah Hoo mengingatkan mereka bahwa anak ayam di dalam telur akan bangun dan mati jika mereka berbicara terlalu keras. Semuanya pun serempak memelankan suaranya, mempercayai nasihat Hoo.
Tiba-tiba, Hoo melihat retakan di telur yang ia erami. Ia yakin bahwa telurnyalah yang akan menetas duluan. Ji Ah pun mengalami hal yang sama. Bahkan telur milik Ji Ah pecah. Dan yang mereka kagetkan, tidak ada anak ayam yang keluar dari sana. Ji Ah sedih karena ia tidak bisa menjaga telur miliknya. Melihat hal itu, Ayah Ji Ah mendekat, memghampiri Ji Ah yang sedang sedih. Ayahnya memberi tahu, bahwa jika telur itu tidak dierami oleh induknya, maka ia tidak akan bisa menetas. Dari sinilah Ji Ah belajar akan realita kehidupan di dunia ini.