Adalah Nuh,

Pembawa risalah dakwah panjang namun sedikit pengikutnya.

Masa baktinya sebagai nabi dan rasul, berdakwah siang dan malam selama kurang lebih 950 tahun. Mendakwahi masyarakat dengan gigih tak kenal letih. Sedang kepada anak istrinya saja dia tak mampu membuka hatinya untuk menerima ajaran yang ia bawa.

“Wahai Nuh? Bagaimana mungkin engkau mendakwahi kami, sedang keluargamu sendiri saja tidak menerima dakwahmu?”

Menyayat sanubari, melemahkan azzam di hati. Begitukah? TIdak sama sekali. Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwahnya.

Karena begitulah iman, meneguhkan perjuangan.

“Wahai manusia,” Seru Al – Imam Hasan Al – Bashri di suatu hari.

Beliau hendak mewasiatkan perkara berat kepada kita semua, setidaknya tentang perkara berikut ini,

“Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari bermaksiat kepada-Nya.”

Sa’id bin Zubair sang ‘alim menasehatkan kepada kita juga,

“Seandainya seseorang tidak boleh memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sehingga ia menjadi orang yang bersih dari semua dosa, maka tidak ada seorangpun yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Bahkan, Rasulullah yang agung nan mulia itupun bersabda,

“Perintahkanlah yang ma’ruf meskipun kamu belum mengamalkannya, dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu belum meninggalkan seluruhnya.”

Mari menjadi Generasi Rabbani, sebagaimana perintah Allah swt,

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang-orang yang sempurna ilmu dan ketakwaannya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Q.S. Ali – Imran: 79)

(Dari dakwatuna)