Another Side: Pasca Perang Hunain


Ini asli cuplikan yang saya suka dan baru saya ketahui dari bukunya Tasaro GK yang berjudul Muhammad: Para Pengeja Hujan. Alhamdulillah kemaren-kemaren sempet beli dengan diskon 30% 🙂 Big thanks to Rumah Buku!

Tahu kan perang hunain? Yang ceritanya disini pasukan muslimin jumlahnya banyak sampe-sampe merasa menang sebelum berperang? Yah, karena kesombongan ini, di awal perang pasukan muslimin kalah. Pasukan yang awalnya berbaris rapi langsung kacau balau setelah melihat sekumpulan unta yang jumlahnya bejibun (padahal ga ada penumpangnya tea, tapi ga keliatan) dan hujan panah beracun dari pasukan musuh. Semua berbalik arah, mundur tanpa komando. Takut. Dari sini sebenernya keliatan, mana yang memang berperang karena Allah dan Rasul-Nya dan mana yang berperang dengan mengharap harta rampasan perang.

Di awal perang, pasukan muslimin kalah. Ya, di awal. Melihat situasi, Rasulullah memanggil sahabat-sahabat muhajirin dan anshar yang sudah tidak diragukan lagi keimanannya. Pasukan muslimin mulai bangkit dan giliran pasukan musuh yang kocar-kacir. “Kita tidak melawan manusia, kita melawan makhluk langit.” Ya, janji Allah datang.

Akhir cerita, dari kemenangan ini, didapatkan harta rampasan perang yang banyak. Tapi, saya bukan mau ngutip bagian ini. Bagian yang super mengharukannya udah pernah saya post (tapi versi Sirah Nabawiyah Mubarakfury). Saya mau ngutip bagian lain. Ini dia.

***

Hari itu, Shafwan menemanimu menuruni Lembah Ja’ranah, memeriksa harta rampasan perang suku Hawaz. Dia tenang di sisimu sedangkan hatinya kian tunduk pada wibawamu. Lembah Ja’ranah amatlah indah. Lembah utamanya membentang luas dengan anak-anak lembah yang menyebar.
Rerumputan membentang hijau di salah satu anak lembah, dengan unta, kambing, dan domba yang merumput dengan lahap ditemani gembalanya. Shafwan menatap pemandangan itu seolah tengah menikmati selembar lukisan. Rasanya tak sanggup kata-katanya sendiri menceritakan kembali apa yang dia saksikan kini.
Engkau tahu itu. Engkau memahami kekaguman Shafwan barusan. “Apakah lembah ini membuatmu senang, Shafwan?” tanyamu.
Shafwan mengangguk malu-malu. Tak dia pungkiri selain debu Makkah, pemandangan semacam ini jarang sekali ia nikmati.
“Ambillah untukmu semuanya,” katamu.
Shafwan menoleh. Apakah seseorang yang mengaku nabi bercandanya seperti ini? ” Maksud engkau, lembah ini semuanya untukku?”
Engkau tersenyum. Itu sudah cukup sebagai jawaban. Shafwan kebingungan sendiri. Ini rasanya seperti tertimpa keberuntungan beberapa orang yang disatukan. “Aku bersaksi,” suara Shafwan mulai terdengar emosional, “tidak ada jiwa yang begitu baik seperti ini, jika itu bukan jiwa seorang nabi.” Shafwan menatapmu dengan haru. “Aku bersaksi, tiada Tuahn melainkan Allah, dan engkau adalah utusan-Nya.”

***

Ah, speechless. Dan gaya bahasa buku ini, bikin saya berimajinasi, saya lagi di hadapan Rasulullah, menceritakan ini semua ke beliau. Betapa rindu jiwa ini ingin bertemu.


“Puncak kangen paling dahsyat tuh ketika dua orang tak saling sms/telepon tapi diam-diam keduanya saling mendoakan.”
— Sujiwo Tejo via Anita Permatasari

:’)