Menjemput Takdir Sejarah Mahasiswa Kedokteran by Dani Ferdian
My rating: 4 of 5 stars
Resensinya banyak saya ambil dari acara bedah buku, Ahad, 2 Juni 2013 kemarin aja ya. Bukan resensi sih jadinya. Lagian selama ini bukan nulis resensi juga sih hahaha. Abis genre buku seperti ini, hehehe, saya bahkan dapet lebih banyak penjiwaannya setelah ikut bedah buku. Terima kasih Hafdzi udah maksa saya buat dateng ke bedah bukunya. 😀
Diawali dengan pembukaan yang apik dari Abah Iwan, saya banyak diingatkan untuk kembali ke awal lagi. Dari mana kita berasal. Saya sendiri mengartikannya, luruskan kembali niat. Menjadi dokter itu jelas bukan hal instan. Seiring dengan berjalannya waktu, tanpa kita sadari, bisa jadi ada yang berubah dengan niat kita. Maka di momen ini, saya diingatkan untuk meluruskan niat. Untuk apa sebenarnya menjadi dokter.
Selanjutnya, Prof Himendra, yang sudah berusia 70 tahun tapi keliatan masih jagjag (keren), lebih membahas tentang mahasiswa secara umum dan menggaris bawahi mengenai spirit menulis. Aktivis itu banyak, tapi aktivis yang juga penulis belum banyak. Nah, iya sih emang. Kan intelektualitas mahasiswa tidak hanya dibangun dari tradisi membaca dan berdiskusi, tapi juga tradisi menulis.
Lalu Kang Aji yang merupakan perwakilan alumni banyak membahas isi buku. Beliau ini keren sekali, banyak nangkep hal-hal dalam buku ini yang ga bisa saya tangkap secara langsung. Makanya di awal beliau menghimbau bahwa bacalah buku ini dengan tenang, jangan terburu-buru. Maka kamu akan banyak dapat hikmah yang tersembunyi. Diantaranya, beliau menggarisbawahi mengenai mengejar ketertinggalan di halaman 114 dan ketahanan menghadapi tekanan di halaman 76. Dengan tegas beliau menyatakan, “Tong cengeng kalau mau jadi dokter! Seorang dokter harus bisa hidup di tempat orang lain bisa hidup.” Jangan malah pusing mikirin nanti makannya gimana, tidur dimana, saya ga bisa defekasi kalau bukan di wc rumah. Kalau di tempat itu manusia bisa hidup, maka dokter pun harus bisa. Keras! 😀 Tapi iya juga sih.
Harus tahan banting sejak mahasiswa! Tantangan seorang dokter di masa depan lebih berat. Kan sekarang banyak tuh, fenomena orang tua mahasiswa menitip anaknya ke ini, ke itu. Kenalannya siapa, dll. Titip, titip, titip. Kan pusing tuh. Haha. Maka orang tua juga harus banyak dipahamkan. Bukan dengan titip menitip ini, lepaskanlah anak-anakmu sebagai anak panah, tentu dengan anak panah doa. Supaya jadi manusia tangguh yang tahan banting.
Lalu Kang Tanri menambahkan dari sisi penulis buku. Kang Danfer yang nulis buku ini udah pas banget. Kenapa? Karena beliau bagian dari pelaku yang mengalami sendiri proses kemahasiswaan masa kini. Kalau menulis tentang dokter, mungkin saat ini belum saatnya. Tapi tentang mahasiswa kedokteran, beliau memiliki otoritas untuk itu.
Banyak lagi komentar dari audiens. Tapi saya ga tulis semua. Diantaranya:
– Prof Ridad: Buku ini ga hebat-hebat banget. Kecil, halamannya sedikit, cepet abis. Tapi yang hebat itu isinya. Dibacanya harus sambil direnungkan. (Lalu beliau menganalogikan cacing di otak semut yang mengalami perjalanan yang sangat panjang tapi saya bingung nulisnya karena awalnya ga ngeh. Mohon dibantu hehe.)
– Udah hehe. Ada lagi sih, banyak, tapi saya ga nyatet namanya. Ada dr Gina, Poundra, dr Okky, dll.
Sesi terakhir, penjelasan dari Kang Danfer. Kenapa judulnya ini?
1. Soalnya, takdir itu ibarat angin bagi seorang pemanah. Tahu kapan menembakkan dengan tepat. Jadi, meski memang kita sudah punya takdir, tetap dibutuhkan usaha untuk menjemput sejarah. Tinggal cari momentumnya. (omongan kang danfer lebih keren dan panjang dari ini, fyi)
2. Intelektualitas mahasiswa. Semua pemuda mungkin punya semangat yang membara dan nurani yang bersih. Tapi, ga semua pemuda memiliki kemampuan intelektualitas yang terasah seperti mahasiswa.
3. Konsekuensi sebagai mahasiswa secara umum dan konsekuensi sebagai mahasiswa kedokteran secara khusus. Apa saja:
a. Akademik, pasti, bukan pilihan.
b. Organisasi. Organisasi itu, kata abah iwan, bukan kegiatan ekstrakulikuler, tapi kegiatan co-kulikuler. Kenapa? Karena apa yang dilakukan ang diorganisasi itu menunjang pembelajaran di kelas juga. Makanya co-kulikuler. Kata kang danfer, organisasi bukan hal yang bisa kita tolak.
c. Kemasyarakatan. Terutama untuk yang kuliah di PTN nih, biaya kuliah dari siapa?
4. Pandangan eksternal mengenai mahasiswa kedokteran, aneh kalau aktif di luar, padahal kalau melihat sejarah, mahasiswa kedokteran menjadi salah satu penggerak dan juga pelaku sejarah.
5. Mayoritas mahasiswa kedokteran sekarang hanya ingin menjadi dokter yang bergerak di bidang kuratif saja, misalnya jadi spesialis tertentu, padahal low impact jika dibandingkan dengan bidang preventif dan promotif. Bukan berarti ini salah. Tapi jangan sampai keputusan itu diambil hanya karena tidak sadar dengan berbagai pilihan yang ada. Dokter itu tidak hanya sekedar agent of treatment, tapi juga agent of development dan agent of change.
Karena berbagai alasan itulah, hadir buku berjudul “Menjemput Takdir Sejarah Mahasiswa Kedokteran” di hadapan kita 🙂
Meski judulnya seperti itu, saya yakin buku ini juga cocok untuk dibaca oleh semua aktivis dan mahasiswa secara umum. Yang penasaran, mangga dibaca 🙂
View all my reviews