Ethical clearance itu, sepengertian saya, semacam approval yang dibutuhkan oleh suatu penelitian yang melibatkan makhluk hidup atau data-data yang confidential lainnya bahwa penetian tersebut etis, tidak melanggar etika. Kalau mahasiswa kesehatan yang sedang penelitian, kita sebut saja skripsi, pasti ga asing dengan proses untuk memperoleh ethical clearance ini. Selain mahasiswa kesehatan, saya kurang tahu.
Nah, di tahun ini FK Unpad angkatan 2010 dihebohkan dengan segala tetek bengek untuk memperoleh ethical clearance ini. Kabar yang simpang siur, berita yang tidak jelas, pokoknya ribet deh. Bingung mencari kejelasan ke siapa. Dosen CRP bilang gini, tapi katanya dari bagian etik RSHS gini, lalu tiba-tiba harus pake school bag, harus bawa 3 rangkap, tanggalnya jangan di tulis, dl dll. Ribet kan?
Waktu itu, saya tidak banyak mengambil peran dalam keribetan pembuatan form etik ini. Soalnya, saya sidang UP-nya gelombang 2 hehehehehe.
Yah, tapi namanya roda kehidupan, finally saya juga harus mengurus form etik ini. Dan tanpa bisa dielakkan lagi, Senin kemarin saya bertemu dengan Pak Agus, yang selama ini mengelola komite etik. Kantor beliau terletak di Eijkman lantai 3. Keluar dari lift, belok kiri, belok kiri dikit lagi, langsung deh kantor beliau. Depan tangga banget.
Dengan berbekal hasil wawancara dengan beberapa orang yang sudah mengurus form etik, saya sudah memiliki cukup gambaran mengenai apa yang seharusnya saya lakukan. Intinya, temui Pak Agus. Haha.
Saya basa-basi dulu. Perkenalan, bertanya ini itu. Lalu perlahan mengeluarkan laptop untuk memperlihatkan form etik yang sudah saya buat. Beliau dengan baik hati membimbing saya dalam memperbaiki beberapa *banyak* bagian yang masih perlu diperbaiki. Sambil banyak cerita juga sih akhirnya.
Komite Etik di Bandung (atau Jawa Barat ya), hanya ada 2, di Eijkman dan di Maranatha. Sebagai informasi, yang mengajukan form etik kesana, bukan hanya yang skripsi saja, tapi dari mulai D3 sampai profesor, perusahaan farmasi, bahkan biofarma juga mengajukan form etik kesini. Luar biasa ada berapa banyak berkas yang diterima setiap bulannya. Ratusan ada deh kayanya. Ga tau deng, yang pasti banyak.
Secara umum, alurnya, setelah peneliti mengisi beberapa berkas, semuanya dibawa beserta log book dan soft copynya dalam CD yang dimasukkan ke dalam school bag dengan warna yang berbeda-beda, Contohnya, karena saya sarjana, warnanya merah. Semuanya itu 3 rangkap, tapi siapkan lebih kalau bisa. School bag beserta segenap isinya di bawa ke komite etik di lantai 3, nanti sama Pak Agus direvisi. Lalu peneliti perbaiki lagi. Jika sudah benar, maka semua berkas akan disimpan di sana untuk diproses lebih lanjut. Alur selanjutnya, saya kurang paham urutannya.. Yang pasti, berkas-berkas tadi akan diperiksa oleh reviewer dan dilakukan sidang, apakah etis atau tidak. Begitu kira-kira. Lalu nanti keluar deh izin penelitian. Kira-kira, semua proses ini memakan waktu 1 bulan. Kalau sama sekali tidak ada hambatan *ga banyak revisi*, bisa aja 2 minggu, Yah tapi jangan banyak berharap sih.
Lama kan?
Bagi orang terdesak seperti saya, ini lama banget.
Tapi ternyata, Pak Agus bercerita, kalau di Jakarta, semua proses ini bisa memakan waktu sampai 2 bulan! Katanya orang sana juga aneh, ko disini bisa “cepet”? Rahasianya ada di balik kekuatan softcopy di CD yang kita berikan dan berkas form etik yang jumlahnya lebih dari 3. Jadi kalau ada revisi, ga perlu memanggil peneliti untuk mengambil-perbaiki-berikan lagi ke komite etik. Cukup ambil saja dari form yang lebih, karena semuanya harus tanda tangan asli.
Saya sih ga kebayang ngerevisi semua itu. *saya bisa merasakan perasaan bapak, pak. Tapi kayanya bapak lebih dahsyat deh* Dan untuk semua itu, seringkali beliau bekerja di hari sabtu dan ahad. Staff beliau hanya 1 orang. Masyaallah. Semangat pak agus!
Lalu, saya ingin cerita behind the scene school bag.
Saya bertanya kepada beliau, kok harus banget sih pake school bag.
Ternyata, Komite etik Unpad *atau FK Unpad ya?* sedang dalam proses memperbaiki diri, karena akan mendaftarkan diri ke FERCAP (searching aja sendiri, initinya ini macem lisensi etik asia pasifik gitu). Di Indinesia, baru 6 universitas yang terdaftar: UI, Unhas, UGM, Udayana, Unibraw, dan satu lagi saya lupa. Yang di jawa barat, Unpad dan Maranatha juga ditawari. Tapi Maranatha katanya belum sanggup. Nah, Unpad dalam proses. Salah satu syarat untuk kerapian administrasi adalah dengan penggunaan school bag ini. Standar internasional ceritanya.
Banyak sih yang dinilai, kerapian administrasi, ruang rapat, kantor, merupakan sebagian yang menjadi penilaian, Tentu prosesnya juga dinilai.
Sayangnya, komisi etik kita belum punya website. Birokrasi, seperti biasa. Jadi inget medinfo kan. Saya mengangguk-angguk maklum, merasa senasib, dan speechless juga sih akhirnya.
***
Intinya, saya seneng waktu satu jam yang saya habiskan di komite etik membuat saya bisa lebih mengenal tentang komisi etik ini, dan juga revisi berjalan lancar. Selain dari sisi mahasiswa yang ngeluh-ngeluh karena prosesnya yang ribet.
Don’t judge a book by its cover is sooooo true.
Sungguh, kita ga bisa menilai orang, hanya dengan melihat dari kacamata pribadi. Kita perlu bertanya, reasoning apa dibalik tindakannya. Jangan sampai suudzon.
Dan tulisan ini akan saya tutup dengan doa.
Semoga lancer FERCAPnya, pak! 🙂