Seribu Malam Untuk Muhammad by Fahd Djibran
My rating: 4 of 5 stars
Panggil saya Azalea. *berasa jadi Azalea*
Sama sekali, buku ini tidak membahas seorang tokoh bernama Azalea. Novel fiksi ini berisi tentang pengalaman seorang “aku” yang melakukan pencarian, pencarian jati diri melalui sosok Muhammad Rasulullah. Dikemas dalam bentuk surat yang ditujukan untuk Azalea, kekasihnya di masa lalu. Azalea dan “aku” merupakan sepasang kekasih yang sudah tidak bertukar kabar selama 2 tahun karena “aku” tiba-tiba meninggalkan Azalea begitu saja. Surat yang dikirimkan “aku” kepada Azalea ini menjelaskan alasan kepergiannya yang tiba-tiba, tanpa kabar.
Semua berawal dari sebuah mimpi. Mimpi “aku” bertemu dengan sosok mulia, Muhammad Rasulullah. Padahal, “aku” ini bukan seorang muslim. Gelisah, bingung, tidak mengerti, tapi tidak bisa disangkal. Dan entah dari mana, “aku” tahu saja kalau sosok yang ditemuinya itu adalah Muhammad Rasulullah. Karena mimpi inilah, “aku” melakukan pencarian mengenai sosok mulia itu. Untuk menjawab semua kegelisahannya, kebingungannya, ketidak mengertiannya.
Tapi yah, yang paling bikin saya bingung, terjebak antara dunia nyata dan dunia fiksi, sekaligus bikin terharu adalah bagian interlude buku ini. Jadi surat ini beneran? Sosok Azalea itu nyata? Dan, dalam 2 tahun yang mungkin tampak seperti waktu ga jelas nunggu-apa-siapa-untuk-apa bagi Azalea, Azalea berhijrah, menjadi seorang mualaf. Sampai sekarang, entah bagaimana ujung pencarian sosok “aku”. Apakah menjadi mualaf atau tidak, entahlah. Mereka berpisah, untuk memulai perjalanan ke arah yang sama.
***
Buku ini membuat saya bercermin.
Entah perjalanan seperti apa yang dilalui oleh sosok “aku”. Berapa banyak literature yang “aku” baca mengenai Rasulullah dalam perjalanannya. Berapa banyak orang yang “aku” ajak diskusi dalam pencariannya. Yah, saya tidak tahu.
Buku ini membuat saya bercermin.
Saya teringat percakapan antara Rasulullah dan Umar, ketika tiba-tiba Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri.”
Rasulullah pun menjawab, “Tidak, Umar. Aku harus lebih engkau cintai dibandingkan dengan dirimu sendiri.”
Maka Umar pun segera meralat pernyataannya, “Wahai Rasulullah, aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri.”
Ketika sekarang kebanyakan orang galau dalam memaknai cinta, bagi Umar, cinta itu sesederhana kata kerja. Karena cinta itu hanya kata, yang akan bermakna dengan kerja yang kita lakukan. Maka Umar pun tidak mengambil pusing. Buktikan saja. Maka ia menjadi sosok yang paling depan membela Rasulullah, mencontoh Rasulullah, berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan sahabat Rasul lainnya.
Rindu kami padamu, ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu, ya Rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya surge
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
Mencintai Rasulullah. Rindu. Ingin bertemu. Semua itu baru berarti saat dibuktikan dengan tindakan. Seberapa banyak yang saya ketahui tentang Rasulullah? Seberapa banyak saya mengikuti sunnah Rasulullah? Seberapa banyak saya mengamalkan apa yang Rasulullah sampaikan? Ya Allah, astaghfirullah…
View all my reviews
(dulunya buku ini berjudul Menatap Punggung Muhammad)