Ayah…Kisah Buya Hamka


Ayah...Kisah Buya HamkaAyah…Kisah Buya Hamka by Irfan Hamka

My rating: 5 of 5 stars

Full. Lucu. Bermakna. Romantis.

Lebih romantis dari habibie ainun.

Sampe banjir air mata, mungkin karena bacanya tengah malem.

Nanti diceritain.

Buku ini menceritakan sosok Buya Hamka dari sudut pandang seorang anak. Kesannya, sosok beliau jadi terasa dekat dan jadi rindu sosok seperti beliau. Bahkan kata pengantarnya aja seru untuk dibaca.

Tolong izinkan saya untuk menceritakan bagian paling romantis, lebih romantis dari pada Habibie-Ainun-stetoskop-direbus-saya-makan.

Bagiannya, tentang “Ayah Sepeninggalan Ummi”. Ya, seperti Pak Habibie, istri Buya Hamka juga mendahului beliau. Irfan Hamka merasa khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya sepeninggalan Ummi. Apakah akan memburuk?

Ternyata setelah beberapa bulan, saat tidak terlalu banyak tamu yang berkunjung pasca wafat istrinya, Buya kembali beraktivitas seperti biasa. Kuliah subuh, rekaman mimbar jum’at, menulis buku seperti biasa.
Kelamaan, Irfan memperhatikan, jika ayahnya sedang sendiri, beliau menyenandungkan “Kaba” dengan suara pelan. Setelah itu, beliau mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah itu beliau membaca Al Quran dan tidak akan berhenti sebelum ia mengantuk. Biasanya beliau akan terus membaca hingga 2-3 jam. Dalam satu hari, beliau bisa menghabiskan 5-6 jam untuk membaca Al-Quran.

Irfan yang penasaran, kemudian bertanya pada ayahnya, “Ayah, kuat sekali ayah membaca Al-Qur’an?”

“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat taubat 2 rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah.

“Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanya Irfan.

“Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab ayah lagi.

…….

Saya baca ini di tengah malem. Entah lagi melankolis atau ini emang sangat menyentuh, pokonya pas baca ini langsung cirambay dan ga bisa move on ke halaman lain. Too sweet :’’’’’ MasyaAllah… Sangat hati-hati. Tapi somehow, ini adalah ungkapan cinta yang paling romantis *teary eyes. Again.*

Terus juga yang berkesan, karena saya pernah nonton Hachiko, si anjing yang setia kepada pemiliknya meski pemiliknya sudah meninggal, adalah kepada si Kuning. Kucing liar yang dipungut oleh Buya ini setia banget. Ke masjid ngikut. Pas pindah rumah. Bahkan sampai ketika Buya sudah meninggal, ada salah seorang yang berziarah ke kuburan Buya melihat si Kuning yang tertidur di kuburannya. :’’’’

Sangat banyak fragmen kehidupan Buya Hamka yang patut kita contoh. Sangat berhati-hati dalam akidah, jiwa pemaafnya, dll..

Buku ini diawali oleh 3 nasihat Buya yang penulis anggap masih sangat relevan dengan keadaan sekarang. Nasihat tentang rumah tangga, tetangga, dan untuk pembohong. Mantap.

Lalu tentang peristiwa beliau dipenjara karena fitnah. Yah sebagai orang yang selama ini lebih banyak terpapar karya-karya Pramoedya Ananta Toer (pas SMA, jadi inget anita), saya ga nyangka. Tapi setelah membaca buku ini sampai akhir, saya jadi malu sendiri, bahkan Buya memaafkan semuanya. Pada akhirnya mereka berbaikan, dengan cara yang unik. Pram tidak setuju jika anaknya yang muslim harus menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Maka ia meminta calon menantunya untuk belajar islam ke Buya.

Terus jadi kagum sama Ummi. Aaaa keren. Bagaimana beliau menjaga izzah keluarganya selama suaminya dipenjara. Dan selama di penjara, Buya Hamka menghasilkan karya. Bukan main, Tafsir Al Azhar. Jadi inget Sayyid Qutbh kan… MasyaAllah…

Terus, yang lucu juga ada. Waktu Irfan dan adiknya yang masih balita kebawa kereta samapi ke Padang (kalau ga salah). Terus pas ditanya orang-orang siapa nama orang tuanya, mereka ga bisa jawab. Cuma tau namanya, Ayah dan Ummi. Paling banter, dia cuma inget ayahnya sering dipanggil Buya. Ini lucu hehehe.

Bisa-bisa saya ketik ulang buku ini kalau misalnya saya ceritakan satu-satu. Highly recommended buat semua orang. MasyaAllah, bagus banget pokonya. Saya aja semalem langsung beres.

Kalau kurang jelas, maafkan. Saya menulis dengan pikiran meloncat-loncat. 😀

View all my reviews

Mabit Bulanan


Mabit Bulanan Masjid Raya Habiburrahman

Pemateri :
> ust. Abdul Aziz A. Rouf,Lc al hafizh
> ust. Ja’far al hafizh
> ust. Shohib Khoiri

Waktu :
25 & 26 Februari 2013
18.30 – 06.00 WIB

Agenda :
– Tasmi’ al Qur’an
– Tafsir hadits
– Tafsir al Qur’an
– Qiyamullail
– Tausiyah ba’da shubuh

Gratis dan terbuka untuk umum

Tawazun


Manusia itu pelupa. Iya. Makanya harus saling mengingatkan, dalam kebaikan dan kesabaran.

Tadi pagi pas nunggu giliran, Teh Ayu yang duduk di sebelah saya berseloroh, “Ustadz, kenapa ya lebih enak muraja’ah dibandingkan dengan tilawah.”

“Ini nih, penyakitnya para penghapal,” kata ustadz.

Waduh, gitu ya, fenomenanya?

Ga boleh kaya gitu. Semua harus seimbang. Tawazun. Tilawah iya, ziyadah iya, muraja’ah juga iya. Kalau meninggalkan tilawah, akan sulit menghapal karena lidahnya ga akrab. Idealnya, nanti kalau sudah hapal 30 juz, tilawah itu sekali duduk (ulangi, sekali duduk) 3 juz, murajaah 3 juz. Jadi dalam seminggu khatam, sebulan minimal khatam 4 kali, jadi terjaga.

“Ga boleh dibagi-bagi ya, ustadz?” Hehe

Yah, itu kan idealnya, kalau nanti sudah hapal 30 juz. makanya sekarang dibiasakan.

Muraja’ah pas QL, tilawah minimal lebihkan dari 1 juz meski hanya 1 halaman. pokonya lebihkan, supaya ada bedanya. yang pasti, ziyadahnya juga.

Kebiasaan ini harus dipupuk. supaya tertanam kuat. kalau mendadak disuruh setoran, kan insyaallah siap setiap saat. yah, bukan karena disuruh setoran juga sih. hehe.

Dan, kalau tilawah menipis demi muraja’ah, berarti itu hanya sekedar menghapal, belum benar-benar menikmati inteaksi dengan Al Quran.

Yap. Nikmati 🙂 dan tawazun. Bismillah.

Terpeliharanya Seorang Muslim


Nyawa, harta, dan kehormatan seorang muslim, terpelihara. Hal ini dinyatakan rasulullah saw., saat khutbah yang sangat fenomenal, yaitu khutbah Wada’, di Padang Arafah. Dalam khutbah tersebut Beliau bersabda,

“Sesungguhnya harta, darah, dan kehormatan kalian adalah terpelihara, seperti terpeliharanya, hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini…”

Inilah hak-hak manusia secara umum, yang menjadi landasan tertegaknya masyarakat muslim yang aman sentosa. Dalam masyarakat tersebut, seorang muslim akan merasa tenang terhadap hartanya, karena tak ada seorang pun yang akan mencuri atau merampasnya. Mereka tenang terhadap kehormatannya, karena tidak ada siapapun yang menginjak-injaknya.

Untuk menciptakan kondisi itu, Allah telah menetapkan hukuman qishash bagi siapa saja yang membunuh atau menghilangkan salah satu anggota badan , menetapkan potong tangan sebagai hukuman orang yang mencuri, menetapkan rajam bagi pezina.

Kemudian terpeliharanya seorang muslim ini akan benar-benar mencapai puncaknya, tatkala sekedar menakut-nakuti atau menyebabkan rasa tidak aman pun dilarang dalam Islam.

Abu Dawud meriwayatkan bahwa seorang sahabat mengambil tambang kepunyaan temannya, hingga ia terkejut takut, maka Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah halal seorang muslim menakuti muslim yang lainnya.” (HR Abu Dawud)

“Janganlah salah seorang diantara kalian menyembunyikan tongkat saudaranya, bermain-main atau sungguh-sungguh.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

“Janganlah antara dua orang saling berbisik dan meninggalkan orang ketiga, karena hal itu dapat membuatnya sedih.” (HR Bukhari dan Muslim) dan dalam riwayat lain terdapat tambahan , “ Karena hal itu dapat menyakiti seorang mukmin. Sedangkan Allah membenci orang yang menyakiti seorang mukmin.”

(salah satu poin di syarah hadits arba’in “Ukhuwah dan Hak-Hak Muslim”)

 

Sumber

Al Wafi: Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah, Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah